Natha Suarnata Septha

Selamat datang di Blog saya,
Blog ini saya buat untuk berbagi,
semoga apa yang saya tulis dapat membantu memecahkan masalah anda...

Kamis, 31 Maret 2011

HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

1. UMUM
Tidak ada satu cara pemahaman yang sebaik-baiknya atas pokok-pokok hukum internasional yang melebihi pemahaman yang jelas mengenai hubungannya dengan hukum nasional. Perlunya pendangan yang jelas mengenai dasar-dasar hukum internasional modern, dan juga pemaparan dasar dari hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional (state law) dengan mengkaji melalui aspek teori analitis dan juga persoalan yang praktis yang ada.

2. TEORI-TEORI MENGENAI HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Dua teori yang dikenal adalah dualisme dan monisme.
Dualisme
Menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda. Eksponen-eksponen dari teori dualisme adalah Triepel dan Anzilotti. Menurut Triepel ada dua hal perbedaan fundamental yang membedakan hukum internasional dan nasional, yaitu:
a. Subyek-subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek-subyek hukum internasional adalah semata-mata dan secara ekskulsif adalah negara-negara
b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: Sumber hukum nasional adalah kehendak negara sendiri, sumber hukum internasional adalh kehendak bersama (gemeinwille) dari negara-negara.
Anzilotti membedakan dan hukum nasional menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana sisitem itu ditemukan. Dalam pendapatnya, hukum nasioanal ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang undangan negara harus ditaati, sedangkan sisitem hukum internasional ditentukan oleh prinsip Facta Sunt Servanda, perjanjian antar negara-negara harus dijunjung tinggi.
Monisme
Pengikut-pengikut monisme menganggap bahwa semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik yang berupa mengikat negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara. Hukum nasional dan hukm internasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang mengikat segenap umat manusia baik secara kplektif ataupun individual. Dengan perkataan lain, individuallah yang sesungguhnya menjadi akar kesatuan dari semua hukum tersebut.




Masalah Primat hukum
Dari segi pandang dualistik yang menekankan pada kedaulatan kehendak negara maka primat (primacy) tersebut barada pada hukum internasional. Menurut Kelsen tesis primat hukum nasional sepenuhnya sah, dan ia menyatakan sikap ini dengan alasan bahwa menurut pendapatnya pemilihan di masing-masing sistem tidak dapat ditentukan seperti dalam ilmu pasti, dengan cara ilmiah.
Tesis mengenai primat akhir pada hukum nasional dikatakan tidak berhasil dalm dua hal penting:
a. apabila hukum internasional memperoleh validitasnya hanya dari konstitusi negara, maka hukum internasional tidak akan berlaku lagi apabila konstitusi yang menjadi sandaran otoritasnya tersebut tidak berlaku. Akan tetapi yang lebih pasti bahwa berlaku syahnya hukum internasional tidak tergantung pada perubahan atu penghapusan konstitusi-konstitusi atau pada revolusi.
b. Masuknya negara-negara baru kedalam masyarakat internasional , telah menjadi ketetapan hukum internasional mengikat negara-negara baru tersebut tanpa adanya persetujuan negara tersebut.

Teori-Teori “Transformasi“ dan “Adopsi khusus“
Kaum positivis mengemukakan pandangan bahwa kaidah-kaidah hukum internasional tidak dapat secara langsungdan ex proprio vigore diberlakukan di lingkungan hukum nasional. Untuk memberlakukan kaidah hukum tersebut harus menjalani proses adopsi khusus (spescific adoption)oleh, atau inkorporasi khusus kedalam hukum nasional.
Teori transformasi, membedakan antara traktat-traktat, disatu pihak, undang-undang atu peraturan-peraturan nasional di lain pihak, menurut teori ini traktat memiliki sifat janji-janji (promise) dan perundang-undangan nasional dengan sifat perintah (comands).
Teori delegasi (the delegation theory), menurut theori ini, ada satu pendelegasian kepada setiap konstitusi negara oleh kaidah-kaidah konstitusional dari hukum internasional yaitu hak untuk menentukan kapan ketentuan-ketentuan suatu traktat atau kenvensi berlaku dan bagaiman cara ketentuan-ketentuan itu dimasukan kedalam hukum nasional.

3. PRAKTEK NEGARA MENYANGKUT PEMBERLAKUAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM WILAYAH NASIONAL
Praktek Inggris
Praktek inggris menarik suatu perbedaan antara:
a. kaidah-kaidah hukum internasional
b. kaidah-kaidah yang ditetapkan ole traktat
Aturan mengenai kebiasaan internasional, bahwa kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional di anggap merupakan bagian dari hukum negara (law of the land), dan akan diberlakukan demikian oleh pengadilan-pengadilan inggris, tunduk pada dua syarat penting:
1. Bahwa kaidah-kaidah tersebut tidak bertentangan dengan perundang-undangan inggris , baik perundang-undangan itu telah ada sebelum atau setelah kaidah kebiasaan tersebut.
2. Bahwa sekalinya ruang lingkup kaidah-kaidah kebiasaan tersebut ditentukan oleh pengadilan-pengadilan tertinggi di inggris, maka pengadilan inggris lainnya akan terikat oleh keputusan tersebut, meskipun kemudian muncul kaidah kebiasaan internasional yang berbeda.
Selain dari dua syarat itu, ada dua kecualian penting mengenai pemberlakuan otomatis kebiasaan hukum internasional oleh pengadilan-pengadilan inggris yaitu:
1. Tindakan negara (act of state) yang dilakukan oleh pihak eksekutif, misalnya pernyataan perang, atau suatu aneksasi wilayah, tidak dapat dipermasalahkan oleh pengadilan-pengadilan inggris, meskipun pelanggaran terhadap hukum internasional mungkin timbul .
2. Pengadilan-pengadilan nasional inggris menganggap dirinya terikat oleh keterangan atau pernyataan otoratif atas nama pihak eksekutif (Mahkota Inggris) berkenaan dengan pokok masalah tertentu yang secara khusus berada didalam kekuasaan prerogatif Mahkota Inggris, seperti pengakuan atas negara negara secara de jure atau de facto, sifat hakikat kedaulatan pemerintah, dan status diplomatik orang orang yang menyatakan dirinya kebal terhadap yuridiksi berdasarkan hak-hak istimewa diplomatik; walaupun keterangan atau pernyataan demikian mungkin sukar disesuaikan dengan kaiadah hukum internasional yang ada .
Doktin inkorpotasi telah menionggalkan bekasnya di dalam dua asas yang telah di akuai pengadilan-pengadialn inggris:
1. Asas konstruksi (rule of construktion). Tindakan tindakan parlemen dan istrumen-instrumen perundang-undangan harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan parlemen tidak bermaksud melakuakn pelanggaran hukum internasional
2. Asas pembuktian (a rule of evidence). Hukum internasional, seperti hukum asing, tidak perlu di buktikan sebagai fakta oleh pembuktian ahli atau pembuktian lainnya.
Praktek inggris di bidang traktat-traktat, berbeda dengan kebiasaan hukum internasional terutama ditentukan oleh prinsip=prinsip konstitusional yang mengatur hubungan hubungan antar pihak eksekutif (Mahkota) dan parlemen. Mahkota dapat mengubah hukum nasional inggris atau mengambil langkah-langkahpenting lainnya tanpa berkonsultasi dengan Parlemen atau tanpa persetujuan parlemen.
Oleh karena itu di tetapkan bahwa:
a. traktat-traktat yang (1) mempengaruhi hak-hak perdata warag inggris atau (2) menyangkut perubahan common law atau undang-undang karena ketentuan-ketentuan traktat itu dan lain-lain , (3) yang mensyaratkan penambahan kekuasaan Mahkota, atau (4) yang membebankan kewajiban-kewajiban keuangan tambahan , baik langsung maupun tak langsung, terhadap pemerinath inggris, harus memperoleh persetujuan melalui dan dengan penetapan undang-undang, dan apabila diperluakn, harus dikeluarkan undang-undang untuk memberlakukan perubahan-perubahan yang disyaratkan tersebut
b. Traktat-traktat yang dibuat yang tunduk kepada persetujuan Parlemen secara tegas mewajibkan persetujuannya, yang biasanya di berikan dalam bentuk resolusi-resolusi.
c. Traktat yang menyangkut penyerahan (cession) wilayah inggris mensyaratkan persetujuan parlemen yang diberikan melalui undang-unadang meskipun kadang-kadang diberiakn dalam bentuk resolusi-resolusi.
d. Tidak ada kewajiban membuat undang-undang untuk beberapa traktat khusus.
Kaidah-kaidah mengenai praktek Inggris mengenai pemberlakuan traktat-traktat yang dikemukakan di atas tersebut tunduk pada kecualian-kecualian khusus dari Konvensi Eropa 1950 mengenai hak-hak dan kebebasan fundamental manusia.

Praktek Amerika
Dalam hal kaidah kaidah hukum kebiasan internasional, praktek Amerika sangat mirip dengan praktek Inggris, kaidah-kaidah tersebut dilaksanakan sebagai bagian hukum nasional , dan undang- undang Kongres Ameriak Serikat dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum internasional, walupun undang-undang yang jelas di buat lebih baru akan mengalahkan hukum kebiasaan internasional yang tealh ada sebelumnya.
Akan tetapi sejauh menyangkut traktat-traktat, ada suatu perbedaan radiakl dengan praktek inggris. Praktek amerika tidak bergantung atas suatu persesuaian antara kekuasaan-kekuasaan Prerogatif pihak eksekutif dan kekuasaan legislatif Parlemen seperti di inggris, tetapi bergantung pada ketentuan-ketentuan Konstitusi Amerika yang menyatakan Bahwa“ Semua traktat yang dibauat, atau akan dibuat berdasarkan otoritas amerika“, akan merupakan “hukum negara tertinggi“ (the supreme Law of the land).

Praktek Negara-negara selain inggris dan Amerika Serikat
Sebegitu jauh Praktek ini dapat disimpulakn, dan meskipun disadari cukup berbahaya menggeneralisasikan permasalahan yang kompleks seperti masalah ini, sebagai berikut:
1. Di sebagian besar negara, kaidah hukum internasional di terapkan sebagai bagian dari hukum internasional oleh pengadilan-pengadilan nasional, tanpa perlu adanya tindakan khusus inkorporasi, dengan ketentuan bahwa tidak ada konflik dengan hukum nasional yang berlaku.
2. Hanya sebagian kecil minoritas negara yang melaksanakan praktek dimana, tanpa perlu ada tindakan khusus inkorporasi, pengadialn-pengadilan nasionalnya membelakukan kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional lebih di utamakan dalam hal terjadi konflik dengan undang-undang nasional atao buatan hakim nasional.
3. Tidak dapat praktek yang seragam mengenai pemberlakuan traktat-tarktat dilingkungan wilayah nasional.
4. Pada umumnya adsuatu bobot tertentu yang dapat dilihat dari praktek negara yang mensyaratkan bahwa dalam pengedialn nasional, yang paling utama diperhatikan hukum nasional, tanpa memandang dapat iterapkannya hukum internasional, dan oleh karena itu menyerahkan masalah-masalah pelanggaran hukum inetrnasional kepada prosedur diplomatik.
Perlunya perubahan formal tertentu di tingkat nasional bergantung pada dua hal pokok:
a. Sifat dan ketentuan-ketentuan traktat bersangkutan.
b. Praktek konstitusional atau administrasi setiap negara itu sendiri.

4. PENGADILAN-PENGADILAN INTERNASIONAL DAN BERLAKUNYA HUKUM NASIONAL
Fakta bahwa pengadilan-pengadilan nasioanl harus memperhatikan hukum nasional dalam hal terjadi konflik dengan hukum internasional, sama sekali tidak mempengaruhi kewajiban-kewajiban negara terkait untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional. Penyangkalan terhadap hukum internasional di hadapan pengadilan-pengadilan internasional tidak berarti bahwa kaidah-kaidah hhukum nasional tidak relevan dalam kasus-kasus di muka pengadilan internasional.
Suatu kajian seksama mengenai pengajuan dan argumentasi-argumentasi dalam perkara-perkara yang diputus oleh Permanent Court of International Justice dan penggantinya sekarang ini Court of Justice, menunjukan bagaimana pentingnya peranan yang dimainakan oleh hukum nasional dalam setiap contoh.

5. KONSEP PERLAWANAN (OPPOSABILITY)
Konsep perlawanan (opposability – Perancis: opposabilite), yang telah menjadi biasa dipakai di bidang hukum internasional dewasa ini , merupakan konsep penting dalam kaitan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional.
Dalam sengketa antara dua negara dimuka pengadilan internasional anata dua negara, A dan B dimana A bersandar pada suatu landasan untuk mendukung klaimnay, maka negara B boleh mengajukan upaya, yaitu “melawan“ negara A dengan mencarai kaidah, lembaga dan rezim hukum domestik negara B guna mementahkan landasan klaim yang di ajukan oleh negara A.
Kebaikan konsep perlawanan terletak pada fakta bahwa apabila suatu kaidah hukum domestik dinyatakan tidak dapat di pakai sebagai sarana untuk melawan (non-opposable), maka hal ini tidak berarti bahwa kaidah tersebut tidak sah berlakunya di wilayah negara yang bersangkutan, dan sebagaimana di katakan Kelsen bagaimanapun juga hukum internasional tidak mengatur prosedur ketidak berlakuan suatu kaidah hukum nasional dalam kerangka nasional.
Sudah barang tentu, suatu kaidah traktat dapat dilawan oleh satu negara terhadap negara lain berkaitan dengan landasan klaim, dengan cara yang sama sebagaimana kaidah hukum domestik dan demikian pula apabila kaidah traktat di anggap merupakan kaidah yang tak dapat dipakai untuk melawan, namun dapat saja berlaku untuk melawan terhadap negara-negara tertentu selain dari negara yang mengajukan klaim.

Lebih Lengkap Lihat:
J.G. Starke
Pengantar Hukum Internasional, Edisi ke-10 Part 1, Hal. 95 s/d 123.
Sinar Grafika