Natha Suarnata Septha

Selamat datang di Blog saya,
Blog ini saya buat untuk berbagi,
semoga apa yang saya tulis dapat membantu memecahkan masalah anda...

Senin, 25 April 2011

TIPOLOGI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

 PEMBUKA
Sering orang salah melihat peranan wanita Jawa. Selama ini dikesankan bahwa mereka hanya sebagai konco wingking,, sebatas penyelesaian pekerjaan harian rumah tangga. Lingkup tugasnya pun dianggap remeh temeh. Sedangkan wanita lajang, kurang memiliki kebebasan. Termasuk kebebasan menentukan pilihan hidup, berkreasi, dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, dalam masyarakat, mereka ditempatkan sebagai golongan kedua. Padahal, mereka berkarya sepanjang hari. Sejak Bangun tidur sampai terlelap kembali pada malam hari. Mulai dari memasak, mengasuh anak-anak hingga melayani suami

(Hendro Basuki. Kamasutra Jawa Eksotisme Perempuan)


Berikut adalah "Tipologi Kekerasan Terhadap Perempuan" yang tentunya menggambarkan kutipan di atas:

1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
Pada pemeriksaan terhadap korban akibat kekerasan fisik maka yang dinilai sebagai akibat penganiayaan adalah bila didapati perlukaan yang bukan karena kecelakaan pada perempuan. Bekas luka itu dapat diakibatkan oleh suatu episode kekerasan yang tunggal dan berulang-ulang dari yang ringan hingga yang fatal. Banyak hal yang dapat dicermati dokter sebagai tanda-tanda adanya kekerasan. Pengamatan tersebut tidak hanya terhadap jenis perlukaan dan penyebab perlukaan melainkan juga sikap atau perilaku korban dan pengantarnya ketika menemui perawat.
 
 
2. Kekerasan Seksual
Meliputi setiap tindakan yang memaksa seseorang untuk menyaksikan, terlibat, atau mengambil bagian dalam melakukan hubungan seksual yang tidak diinginkan, meskipun dalam pernikahan, melalui intimidasi, ancaman, paksaan atau pengunaan kekuatan, atau membatasi atau meniadakan hak-hak seksual dan reproduktif seseorang.
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual terhadap perempuan baik telah terjadi persetubuhan atau tidak dan tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dan korban. Pembedaan aspek fisik dan seksual dianggap perlu, karena tenyata tindak kekerasan terhadap perempuan yang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui perilaku fisik belaka.


3. Kekerasan Psikologi atau Emosional
Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, mengurang rasa percaya diri, bermaksud untuk merendahkan atau mengontrol, keyakinan dan keputusan orang lain melalui ancaman, pemaksaan, penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolasi, melakukan pengawasan, mengancam, membatasi hak-hak untuk bergerak secara bebas atau dengan cara lain yang merusak secara psikis dan penentuan nasib sendiri.

Pada kekerasan psikologi sebenarnya dampak yang dirasakan lebih menyakitkan daripada kekerasan secara fisik. Bentuk tindakan ini sulit untuk  dibatasi pengertiannya karena sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi. Identifikasi akibat yang timbul pada kekerasan psikis sulit diukur. Namun, ada yang berpendapat sesungguhnya kekerasan fisik akibatnya jauh lebih menyakitkan. Ada beberapa  alasan yang digunakan.

Pertama, sekalipun tindak kekerasan psikologi itu jauh lebih menyakitkan karena dapat merusak kehormatan seseorang melukai harga diri seseorang, merusak keseimbangan jiwa namun kekerasan psikologis tidak akan merusak organ tubuh bagian dalam bahkan tindakan yang berakibat kematian. Sebaliknya tindakan kekerasan fisik kerap menghasilkan hal yang demikian.

Kedua, kekerasan fisik jauh lebih mudah diukur dan dipelajari tulang yang patah atau hidung yang berdarah jauh lebih mudah diuji dan divisum ketimbang kekerasan emosional yang membuat seseorang merasa dipermalukan atau dilecehkan. Sekalipun kekerasan psikologis tidak bisa dikurangi kadarnya dan biasanya selalu terjadi pada kekerasan terhadap pasangan.


4. Kekerasan Ekonomi
Meliputi semua tindakan yang mengakibatkan penyimpanan,penggurangan, pengrusakan yang berdampak pada seseorang, alat kerja, menghalangi untuk bekerja atau di luar rumah, dokumen pribadi, aset, barangbarang berharga dan hak-hak atau sumber ekonomi, termasuk untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan rumah tangga. Misalnya tipe kekerasan adalah menolak untuk membayar biaya penafkahan, atau menggunakan uang yang dimiliki oleh pasangannya.
Misalnya suami mengontrol hak keuangan istri, memaksa atau melarang istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, serta tidak memberi uang belanja, memakai atau menghabiskan uang istri.

SARAN
Dari ulasan di atas perlu adanya Undang-undang Anti Kekerasan dalam Terhadap Perempuan, baik dalam maupun di luar Rumah Tangga yang mewajibkan negara untuk menjamin bahwa korban diberikan informasai yang layak untuk melindungi hak-hak mereka. Yang mana Undang-undang ini juga memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk melakukan program-program yang dapat merubah pendapat publik mengenai kekerasan terhadap perempuan, mengembangkan sumber daya pelatihan dan melakukan studi. Undang-undang tersebut mengatur kerja sama institusional untuk memberantas kekerasan dalam rumah tangga.  Dengan adanya Undang-undang seperti ini memungkinkan untuk menciptakan sebuah jaringan rumah aman (Rede Uma Mahon) bagi korban serta bentuk-bentuk bantuan lain. Undang-undang juga  sudah seharusnya mewajibkan dokter, perawat, Polisi dan profesional yang lainnya ketika mereka memberikan pelayanan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga .

Lembaran Mimpi Seorang Sahabat


Begitu cepat waktu berlalu,
tak terasa aku sudah harus berdiri dan berpijak dengan kaiku sendiri, seperti katanya...

Begitu terjal jalan hidup ini,
ingin ku teriak Bebas-Lepas,
semua yang ku mimpikan belum bisa ku raih.
(Belum bisa ku raih, bukan berarti tak bisa ku raih kawan)

hidup itu.....
apa sih?, Sampai sejauh ini aku belum bisa menjawab hal itu dengan segala kekuranganku

Satu hal yang ku tahu,
tak semua manusia akan sukses.
Tapi yang pasti semua dari mereka akan berhasil jika mereka "Mau dan Tetap Berusaha"


Terakhir,
Hanya padamu satu hati.
Untukmu....
Bermimpi.........
Hanya Padamu...



                            "Ku Dedikasikan
                                         Untuk Sahabat-sahabat Hebatku" 

MALPRAKTEK MEDIK

 
Definisi Malpraktik
 
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.

Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.

Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
Saat ini di Indonesia banyak terdapat pengertian malapraktik medik sebagai akibat belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Standar Profesi. Namun demikian, untuk mengetahui seorang dokter melakukan malpraktik / tidak maka kita dapat melihat unsur standar profesi kedokteran sebagaimana dirumuskan oleh Leenen, yaitu :

berbuat secara teliti / seksama dikaitkan dengan culpa / kelalaian, sesuai ukuran ilmu medik, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama, situasi Dan kondisi yang sama, sarana upaya yang sebanding / proporsional (asas proporsionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan / perbuatan medik tersebut.

Menurut Leenen, Dokter yang tidak memenuhi unsur standar profesi kedokteran berarti melakukan suatu kesalahan profesi (malapraktik). Selain itu, untuk mengetahui adanya unsur perbuatan malapraktik juga dapat dilihat pada 4 - D of Negligence, yaitu : Duty, Dereliction of that duty, Direct caution, Dan Damage.

Untuk malpraktek medik secara hukum dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).

Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien.

Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.

Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice


Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).

Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice


Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
SUMBER:
Erlangga,
dr. Rudy Dewantara 

Kamis, 14 April 2011

Cinta Dan Jarak dalam Long Distance Relationship (LDR)

Cinta tak mengenal jarak,
seklumit kalimat ini merupakan kalimat yang sangat tepat untuk menggambarakan hubungan yang terjalin di antara orang-orang yang terpaut oleh jarak..
Long Distance Relationship (LDR)
kata ini populer untuk menyebutkan hubungan yang terjalin yang di batasi oleh jarak.
film kambing jantan, yang diadopsi dari buku karangan Raditya Dika seorang blogger yang berhasil membukukan blognya dan menjadi best seller itu, merupakan referensi yang baik untuk mendalami dan lebih memahami apakah sebenarnya LDR itu




Sebuah pemahaman tersendiri yang merasakan bahwa jarak tidaklah suatu halangan yang membatasi hubungan, namun tidak pula dapat di pungkiri bahwa kadang jaraklah yang menghabat keberlangsungan suatu hubungan.
Jarak seakan menjadi sebuah hambatan,
banyak masalah yang akan di timbulkan oleh jarak, di antaranya adalah masalah uang, dan waktu.
Untuk bisa bertemu, tentu di perlukan biyaya yang cukup besar, waktu yang cukup lama dalam perjalanan..
Selain itu, juga timbul masalah kepercayaan yang sering diragukan oleh pasangan masing-masing.

namun sebenarnya,  masalah ini dapat di atasi dengan beberapa trik di antaranya:
  • Tetap berkomunikasi dengan intensitas yang rutin, ubah pola pikir jadikanlah komunikasi sebagai prioritas keseharian anda.
  • Luangkan waktu untuk pulang menemui pasangan, paling tidak sebulan sekali atau lebih untuk jarak yang jauh misalkan lintas benua atau pun negara.
  • SMS, walau terkesan sepele, menyatakan "kangen" atu pun sekedar menanyakan "Lagi apa" adalah resep yang manjur untuk mengingatkan bahwa anda masih memikirkan pasangan anda di sela-sela kesibukan yang padat.
  • Ungkapkan dengan kiriman hadiah, bisa berbentuk buku atau pun barang-barang kecil lainnya yang akan menyenangkan hatinya.
Sebenarnya di luar dari ini, hanya komitmenlah yang paling berpengaruh dalam menjalani hubungan jarak jauh seperti ini, senantiasa yakinkan pada diri sendiri dan pasangan anda bahwa meskipun jauh anda tetap mengharapkannya, dan mencintainya.

Rabu, 13 April 2011

KESALAHAN DALAM HUKUM PIDANA

Apakah yang dimaksud dengan kesalahan?
  1. dalam arti luas: memiliki pengertian yang sama dengan pertanggungjawaban dalam hukun pidana
  2. dalam arti sempit: kesalahan berarti ke-alpaan
  3. dalam arti bentuk kesalahan:
    • kesalahn disengaja (dolus/opzet): Prinsip dari kesengajaan dalam MvT adalah mengetahui (weten) dan menghendaki (willen)
    • kesalahan karena ke alpaan: Kealpaan terjadi bila pelaku mengetahui tetapi secara tidak sempurna karena dalam kealpaan seseorang mengalami sifat kekurangan (kurang hati-hati, kurang teliti dsb.)
Bentuk-bentuk kesengajaan
  1. kesengajaan sebagai tujuan/sebagai maksud, akibatnya memang dikehendaki, atau sebagai tujuan dari pelaku
  2. kesengajaan dengan keinsyafan kepastian (sadar kepastian),pelaku menyadari bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan akibat lain, tapi demi tercapainya tujuan utama pelaku mengambil resiko terjadinya akibat lain itu
  3. kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis),  pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya mungkin akan membawa akibat lain selain akibat utama.
Bentuk-bentuk kealpaan
  1. kealpaan yang disadari (bewuste), seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang sudah dapat di bayangkan akibat buruk akan terjadi, tapi tetap melakukannya
  2. kealpaan yang tidak disadari, bila pelaku tidak dapat membayangkan sama sekali akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang seharusnya di bayangkan.
Unsur-unsur kesalahan atau syarat seseorang dapat di ertanggungjawabkan dalam hukum pidana
  1. adanya kemampuan bertanggungjawab
  2. adanya hubungan bathin antara pelaku dengan perbuatannya (dolus atau ulpa)
  3. tidak adanya alasan-alasan penghapus kesalahan (schuld uitsluitsground)
Istilah kesalahan
  1. schuld: kesalahan
  2. schuld-verbad: kesalahan si pelaku tindak pidana
  3. geenstrafbaar feit zonder schuld: suatu tindak pidana yang pelakunya dapat di jatuhu hukuman pidana
  4. dolus/opzet: kesengajaan
  5. ulpa: kealpaan/lalai

PENGERTIAN STRUKTUR MASYARAKAT


A. PENGERTIAN STRUKTUR MASYARAKAT[1]
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur[2]. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat[3].
Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status)[4].
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Merton (1964) mempunyai pandangan yang berbeda dengan Linton. Menurut Merton ciri dasar dari suatu struktur sosial adalah status yang tidak hanya melibatkan satu peran, melainkan sejumlah peran yang saling terkait. Merton memperkenalkan konsep perangkat peran (role set)[5].
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970)[6].
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).

B. PENGERTIAN STRUKTUR SOSIAL
Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. Para ahli sosiologi merumuskan definisi struktur sosial sebagai berikut:
a.  George Simmel: struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola perilakunya.
b. George C. Homans: struktur sosial merupakan hal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari.
c. William Kornblum: struktur sosial adalah susunan yang dapat terjadi karena adanya pengulangan pola perilaku undividu.
d. Soerjono Soekanto: struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara posisi-posisi dan peranan-peranan social

C. CIRI-CIRI STRUKTUR SOSIAL
1. Muncul pada kelompok masyarakat
Struktur sosial hanya bisa muncul pada individu-individu yang memiliki status dan peran. Status dan peranan masing-masing individu hanya bisa terbaca ketika mereka berada dalam suatu sebuah kelompok atau masyarakat. Pada setiap sistem sosial terdapat macam-macam status dan peran indvidu. Status yang berbeda-beda itu merupakan pencerminan hak dan kewajiban yang berbeda pula.
2. Berkaitan erat dengan kebudayaan
Kelompok masyarakat lama kelamaan akan membentuk suatu kebudayaan. Setiap kebudayaan memiliki struktur sosialnya sendiri. Indonesia mempunyai banyak daerah dengan kebudayaan yang beraneka ragam. Hal ini menyebabkan beraneka ragam struktur sosial yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hal-hal yang memengaruhi struktur sosial masyarakat Indonesia adalah sbb:
a. Keadaan geografis : Kondisi geografis terdiri dari pulau-pulau yang terpisah. Masyarakatnya kemudian mengembangkan bahasa, perilaku, dan ikatan-ikatan kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
b. Mata pencaharian Masyarakat Indonesia memiliki mata pencaharian yang beragam, antara lain sebagai petani, nelayan, ataupun sektor industri.
c. Pembangunan : Pembangunan dapat memengaruhi struktur sosial masyarakat Indonesia. Misalnya pembangunan yang tidak merata antra daerah dapat menciptakan kelompok masyarakat kaya dan miskin.
3. Dapat berubah dan berkembang : Masyarakat tidak statis karena terdiri dari kumpulan individu. Mereka bisa berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Karenanya, struktur yang dibentuk oleh mereka pun bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

D. FUNGSI STRUKTUR SOSIAL
1. Fungsi Identitas
Struktur sosial berfungsi sebagai penegas identitas yang dimiliki oleh sebuah kelompok. Kelompok yang anggotanya memiliki kesamaan dalam latar belakang ras, sosial, dan budaya akan mengembangkan struktur sosialnya sendiri sebagai pembeda dari kelompok lainnya.
2. Fungsi Kontrol
Dalam kehidupan bermasyarakat, selalu muncul kecenderungan dalam diri individu untuk melanggar norma, nilai, atau peraturan lain yang berlaku dalam masyarakat. Bila individu tadi mengingat peranan dan status yang dimilikinya dalam struktur sosial, kemungkinan individu tersebut akan mengurungkan niatnya melanggar aturan. Pelanggaran aturan akan berpotensi menibulkan konsekuensi yang pahit.
3. Fungsi Pembelajaran
Individu belajar dari struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Hal ini dimungkinkan mengingat masyarakat merupakan salah satu tempat berinteraksi. Banyak hal yang bisa dipelajari dari sebuah struktur sosial masyarakat, mulai dari sikap, kebiasaan, kepercayaan dan kedisplinan.

E. BENTUK STRUKTUR SOSIAL
Bentuk struktur sosial terdiri dari stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Masing-masing punya ciri tersendiri.
1. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi berasal dari kata strata atau tingkatan. Stratifikasi sosial adalah struktur dalam masyarakat yang membagi masyarakat ke dalam tingkatan-tingkatan. Ukuran yang dipakai bisa kekayaan, pendidikan, keturunan, atau kekuasaan. Max Weber menyebutkan bahwa kekuasaan, hak istimewa dan prestiselah yang menjadi dasar terciptanya stratifikasi sosial. Adanya perbedaan dalam jumlah harta, jenjang pendidikan, asal-usul keturunan, dan kekuasaan membuat manusia dapat disusun secara bertingkat. Ada yang berada di atas, ada pula yang menempati posisi terbawah.
Berdasarkan sifatnya, stratifikasi sosial dapat dibagi menjadi 2:
1. Stratifikasi Sosial Tertutup Adalah stratifikasi sosial yang tidak memungkinkan terjadinya perpindahan posisi (mobilitas sosial)
2. Stratifikasi Sosial terbuka Adalah stratifikasi yang mengizinkan adanya mobilitas, baik naik ataupun turun. Biasanya stratifikasi ini tumbuh pada masyarakat modern.
Bentuk-bentuk mobilitas sosial:
a. Mobilitas Sosial Horizontal
Di sini, perpindahan yang terjadi tidak mengakibatkan berubahnya status dan kedudukan individu yang melakukan mobilitas.
b. Mobilitas Sosial Vertikal
Mobilitas sosial yang terjadi mengakibatkan terjadinya perubahan status dan kedudukan individu.
Mobilitas sosial vertikal terbagi menjadi 2:
Vertikal naik Status dan kedudukan individu naik setelah terjadinya mobilitas sosial tipe ini. Vertikal turun Status dan kedudukan individu turun setelah terjadinya mobilitas social tipe ini.
c. Mobilitas antargenerasi Ini bisa terjadi bila melibatkan dua individu yang berasal dari dua generasi yang berbeda.
3. Stratifikasi Sosial Campuran, Hal ini bisa terjadi bila stratifikasi sosial terbuka bertemu dengan stratifikasi sosial tertutup. Anggotanya kemudian menjadi anggota dua stratifikasi sekaligus. Ia harus menyesuaikan diri terhadap dua stratifikasi yang ia anut.
Menurut dasar ukurannya, stratifikasi sosial dibagi menjadi:
a. Dasar ekonomi Berdasarkan status ekonomi yang dimilikinya, masyarakat dibagi menjadi:
1) Golongan Atas Termasuk golongan ini adalah orang-orang kaya, pengusaha, penguasan atau orang yang memiliki penghasilan besar.
2) Golongan Menengah Terdiri dari pegawai kantor, petani pemilik lahan dan pedagang.;
3) Golongan Bawah Terdiri dari buruh tani dan budak.
b. Dasar pendidikan Orang yang berpendidikan rendah menempati posisi terendah, berturut-turut hingga orang yang memiliki pendidikan tinggi.
c. Dasar kekuasaan Stratifikasi jenis ini berhubungan erat dengan wewenang atau kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang. Semakin besar wewenang atau kekuasaan seseorang, semakin tinggi strata sosialnya. Penggolongan yang paling jelas tentang stratifikasi sosial berdasarkan kekuasaan terlihat dalam dunia politik.
Dampak adanya stratifikasi sosial:
a. Dampak Positif Orang yang berada pada lapisan terbawah akan termotivasi dan terpacu semangatnya untuk bisa meningkatkan kualitas dirinya, kemudian mengadakan mobilitas sosial ke tingkatan yang lebih tinggi.
b. Dampak Negatif Dapat menimbulkan kesenjangan sosial
E. Diferensiasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, diferensiasi sosial adalah penggolongan masyarakat atas perbedaan-perbedaan tertentu yang biasanya sama atau sejajar. Jenis diferensiasi antara lain:
a. Diferensiasi rasm Ras adalah su8atu kelompok manusia dengan ciri-ciri fisik bawaan yang sama. Secara umum, manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok ras, yaitu Ras Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid. Orang Indonesia termasuk dalam ras Mongoloid.
b. Diferensiasi suku bangsa Suku bangsa adalah kategori yang lebih kecil dari ras. Indonesia termasuk negara dengan aneka ragam suku bangsa yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga papua.
c. Diferensiasi klen Klen merupakan kesatuan keturunan, kepercayaan, dan tradisi. Dalam masyarakat Indonesia terdapat 2 bentuk klen utama, yaitu:
a. Klen atas dasar garis keturunan ibu (matrilineal) Contohnya yang terdapat pada masyarakat Minangkabau.
b. Klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) Contohnya yang terdapat pada masyarakat Batak.
d. Diferensiasi agama  : Di Indonesia kita mengenal agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu, dan kepercayaan lainnya.
e. Diferensiasi profesi : Masyarakat biasanya dikelompokkan atas dasar jenis pekerjaannya.
f. Diferensiasi jenis kelamin : Berdasarkan jenis kelamin, masyarakat dibagi atas laki-laki dan perempuan yang memiliki derajat yang sama

F. SISTEM SOSIAL
Memahami sistem sosial ialah proses belajar mengenali, menganalisis dan mempertimbangkan eksistensi dan perilaku organisasi dan institusi sosial kemasyarakatan dalam berbagai ranah kehidupan manusia. Peran manusia di sini lebih dilihat sebagai makhluk sosial dan bagian dari kelompok kepentingan, bukan sebagai individu. Ketika kita mengamati suatu fenomena sosial, maka sebenarnya kita sedang mencerna realitas kehidupan yang membawakan kondisi sistem masyarakat tertentu yang sedang bekerja, berusaha tetap langgeng, dan seringkali berbenturan dengan sistem-sistem lainnya. Sistem ini mencirikan karakteristik sifat, tata nilai, ukuran, kualitas dan kedudukan relasional di dalam dan antarsistem. Oleh karenanya, fenomena sosial pada hakikatnya adalah proses dialog, transaksi dan negosiasi sejumlah sistem sosial pada konteks waktu dan tempat tertentu[7].

G. STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA

Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik[8].

1. Horizontal
Ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social berdasarkan perbedaan suku-bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
2. Vertical
Strktur maysrakat Indonesia ditandai adanya perbedaan2 vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup dalam.
Perbedaan2 suku-bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat dan kedaerahan sering kali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah masyarakat majemuk (plural societies) ini diperkenalkan oleh J.S. Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada zaman Hindia-Belanda. Plural societies yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik. Masyarakat Indonesia zaman Hindia Belanda tersebut adalah tipe masyarakat tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Orang Belanda yang minoritas a
Dalam kehidupan politik dan ekonomi, tanda yang jelas pada plural societies tersebut adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Orang-orang Belanda datang ke Indonesia untuk bekerja dan bukan untuk menetap. Mereka bertindak sebagai kapitalis atau majikan bagi buruh-buruh mereka di Indonesia. Orang-orang timur asing, seperti Tionghoa, juga datang tidak lebih karana motif ekonomi. Sementara bagi orang-orang Indonesia pribumi, kehidupan mereka tidak lebih dari kehidupan pelayan dinegeri sendiri.
Karena penggolongan masyarakat berdasarkan perbedaan ras, maka pola produksi pun terbagi atas perbedaan ras, dimana masing-masing ras memiliki fungsi produksi tersendiri. Orang-orang Belanda dalam bidang perkebunan, penduduk Indonesia pribumi dalam bidang pertanian dan orang-orang Tionghoa sebagai kelas pemasaran atau perantara diantara kedua ras tersebut.
Masyarakat Indonesia zaman itu merupakan masyarakat yang tumbuh diatas dasar kasta, tetapi tanpa ikatan agama. Orang-orang Belanda, Tionghoa dan Indonesia pribumi melalui agama, kebudayaan dan bahasa mereka masing-masing mempertahankan dan memelihara pola fikiran dan cara hidup masing-masing. Hasilnya adalah berupa masyarakat (Indonesia) yang secara keseluruhan tidak memiliki kehendak bersama.
Jika di dalam setiap masyarakat selalu terjadi konflik kepentingan, misalnya antara desa dan kota, antara kaum modal dan kaum buruh, maka pada masyarakat majemuk konflik kepentingan tersebut menjadi lebih tajam lagi, terutama karena adanya perbedaan kepentingan ekonomi,social, politik berdasarkan perbedaan ras.
Akan tetapi sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tanggl 17 Agustus 1945, golongan Eropa yang sebelumnya menduduki kedudukan yang sangat penting di dalam masyarakat Indonesia kemudian terlempar di lura system social kemasyarakatan Indonesia. Sejak itu pluralitas yang terjadi terutama di dalam internal orang Indonesia pribumi mengalami perubahan yang sangat signifikan.
Apabila perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama dan regional merupakan dimensi-dimensi horizontal daripada struktur masyarakat Indonesia, maka dimensi vertical struktur masyarakat Indonesia adalah tumbuhnya polarisasi social berdasarkan kekuatan politik dan ekonomi. Kontras antara masyarakat atas dan bawah menjadi lebih lebar. Apabila masyarakat atas diisi oleh oleh sedikit orang yang relatif menguasai ekonomi (memiliki kekayaan) dan posisi politis yang baik, maka lapisan bawah diisi oleh sejumlah besar orang dengan posisi ekonomi dan politis yang lemah. Tumbuhnya ketimpangan tersebut berakar dari struktur ekonomi Indonesia pada zaman Hindia Belanda yang digambarkan sebagai “dual economy”.
Dalam struktur ekonomi demikian, dua macam sector ekonomi yang berbeda watak berhadapan satu sama lain. Sektor pertama berupa struktur ekonomi modern yang secara komersial bersifat lebih canggih (sophisticated), bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan Internasional yang didorong oleh motif2 memeproleh keuntungan maksimal (yang sebelumnya dikuasai oleh orang-orang Eropa dan Tionghoa) serta berpusat di kota-kota metropolitan. Sementara yang kedua berupa struktur ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional yang menurut teori ekonomi modern berorientasi pada sikap-sikap konservatif, didorong oleh motif2 memeilihara keamanan dan kelanggengan system yang ada, tidak berminat pada usaha2 memperoleh keuntungan dan penggunaan sumber2 secara maksimal, dan lebih berorientasi pada memenuhi kepuasan dan kepentingan social daripada rangsangan kekuatan Internasional.

H. GEJOLAK REVOLUSI YANG MENGUBAH STRUKTUR MASYARAKAT[9]

Perubahan yang terjadi akibat revolusi benar-benar mencengangkan. Struktur masyarakat yang sudah berlaku ratusan tahun rusak. Bangasawan dan kaum Rohaniwan yang semula bergemilang harta dan kekuasaan, disetarakan haknya dengan rakyat jelata. Raja yang semula berkuasa penuh, kini harus memimpin berdasarkan undang-undang yang di tetapkan. Banyak kerajaan-kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan terpecah. Revolusi Perancis berhasil mengubah struktur masyarakat feodal ke masyarakat yang bebas.
Gejolak abad revolusi itu mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran bahwa perubahan masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyakikan betapa perubahan masyarakat yang besar telah membawa banyak korban berupa perang, kemiskinan, pemberontakan dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah sekiranya perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini.
Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi menguatkan pandangan betapa perlunya penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat. Artinya :
  • Perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya.
  • Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal.
  • Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan teori berdasarkan pembuktian), perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga krisis sosial yang parah dapat dicegah


DAFTAR PUSTAKA



[1] Learning of Slamet Widodo,  Sruktur Sosial Masyarakat Desa Cibodas Dari Masa Ke Masa

[2] Douglas, Jack D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The Free Press. New York
[3] Kornblum, William. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York
[4] Linton,  Ralph. 1967. “Status and Role” dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological Theory ; A Book of Reading. The Macmillan. New York
[5] Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York
[6] Beteille, Andre. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California

[7]Rental, Definisi Struktur Sosial  Selasa, 06 April 2010

[8] Blogger.com, studi Masyarakat Indonesia

[9] Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Sosiologi

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM TATA NEGARA


PENDAHULUAN
Pada masa lalu, istilah “teori hukum tata negara” sangat jarang sekali terdengar, apalagi dibahas dalam perkuliahan maupun forum-forum ilmiah. Hukum Tata Negara yang dipelajari oleh mahasiswa adalah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, atau Hukum Tata Negara Positif. Hal ini dipengaruhi oleh watak rejim orde baru yang berupaya mempertahankan tatanan ketatanegaraan pada saat itu yang memang menguntungkan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pemikiran Hukum Tata Negara baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi terhegemoni bahwa tatanan ketatanegaraan berdasarkan Hukum Tata Negara Positif pada saat itu adalah pelaksanaan dari Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akibatnya, pembahasan sisi teoritis dari Hukum Tata Negara menjadi ditinggalkan, bahkan dikekang karena dipandang sebagai pikiran yang “anti kemapanan” dan dapat mengganggu stabilitas nasional.
Padahal dari sisi keilmuan, Hukum Tata Negara dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah staatsrecht atau hukum negara (state law) yang meliputi 2 pengertian, yaitu staatsrecht in ruimere zin (dalam arti luas), dan staatsrecht in engere zin (dalam arti sempit). Staatsrecht in engere zin atau Hukum Tata Negara dalam arti sempit itulah yang biasanya disebut Hukum Tata Negara atau Verfassungsrecht yang dapat dibedakan antara pengertian yang luas dan yang sempit. Hukum Tata Negara dalam arti luas (in ruimere zin) mencakup Hukum Tata Negara (verfassungsrecht) dalam arti sempit dan Hukum Administrasi Negara (verwaltungsrecht)[1]. Pada masa lalu, Prof. Dr. Djokosoetono lebih menyukai penggunaan verfassungslehre daripada verfassungsrecht[2]. Istilah yang tepat untuk Hukum Tata Negara sebagai ilmu (constitutional law) adalah Verfassungslehre atau teori konstitusi. Verfassungslehre inilah yang nantinya akan menjadi dasar untuk mempelajari verfassungsrecht.
Di sisi lain, istilah “Hukum Tata Negara” identik dengan pengertian “Hukum Konstitusi” sebagai terjemahan dari Constitutional Law (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis), Diritto Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht (Jerman). Dari segi bahasa, Constitutional Law memang biasa diterjemahkan menjadi “Hukum Konstitusi”. Namun, istilah “Hukum Tata Negara” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kata yang dipakai adalah Constitutional Law[3]. Oleh karena itu, Hukum Tata Negara dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain belaka dari Hukum Konstitusi[4].
A. REFORMASI DAN PERKEMBANGAN TEORI HUKUM TATA NEGARA
Teori Hukum Tata Negara mulai mendapat perhatian dan berkembang pesat pada saat bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Salah satu arus utama dari era reformasi adalah gelombang demokratisasi. Demokrasi telah memberikan ruang terhadap tuntutan-tuntutan perubahan, baik tuntutan yang terkait dengan norma penyelenggaraan negara, kelembagaan negara, maupun hubungan antara negara dengan warga negara. Demokrasi pula yang memungkinkan adanya kebebasan dan otonomi akademis untuk mengkaji berbagai teori yang melahirkan pilihan-pilihan sistem dan struktur ketatanegaraan untuk mewadahi berbagai tuntutan tersebut.
Tuntutan perubahan sistem perwakilan diikuti dengan munculnya perdebatan tentang sistem pemilihan umum (misalnya antara distrik atau proporsional, antara stelsel daftar terbuka dengan tertutup) dan struktur parlemen (misalnya masalah kamar-kamar parlemen dan keberadaan DPD). Tuntutan adanya hubungan pusat dan daerah yang lebih berkeadilan diikuti dengan kajian-kajian teoritis tentang bentuk negara hingga model-model penyelenggaraan otonomi daerah.
Tuntutan-tuntutan tersebut meliputi banyak aspek. Kerangka aturan dan kelembagaan yang ada menurut Hukum Tata Negara positif saat itu tidak lagi sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kehidupan masyarakat. Di sisi lain, berbagai kajian teoritis telah muncul dan memberikan alternatif kerangka aturan dan kelembagaan yang baru. Akibatnya, Hukum Tata Negara positif mengalami “deskralisasi”. Hal-hal yang semula tidak dapat dipertanyakan pun digugat. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dipertanyakan. Demikian pula halnya dengan kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu besar karena memegang kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan membentuk UU. Berbagai tuntutan perubahan berujung pada tuntutan perubahan UUD 1945 yang telah lama disakralkan.
B. PERUBAHAN UUD 1945
Pembahasan tentang latar belakang perubahan UUD 1945 dan argumentasi perubahannya telah banyak dibahas diberbagai literatur, seperti buku Prof. Dr. Mahfud MD[5]., Prof. Dr. Harun Alrasid[6], dan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani[7]. Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Bahkan hasil perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”[8].
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Perubahan tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma dasar dalam kehidupan bernegara, seperti penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan negara dengan adanya lembaga-lembaga baru dan hilangnya beberapa lembaga yang pernah ada; (iii) Perubahan hubungan antar lembaga negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi Manusia. Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum sepenuhnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek ketatanegaraan sehingga berbagai kerangka teoritis masih sangat diperlukan untuk mengembangkan dasar-dasar konstitusional tersebut.
C. KEBERADAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pembentukan MK merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan MK juga merupakan perwujudan dari konsep checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK. Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan hukum dan argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.
Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.
Dengan demikian, media utama yang memuat pelaksanaan peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi (the guardian and the sole interpreter of the constitution) adalah putusan-putusan yang dibuat berdasarkan kewenangan dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dengan kata lain, penafsiran ketentuan konstitusi dan perkembangannya dapat dipahami dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, tidak saja yang amarnya mengabulkan permohonan, tetapi juga yang ditolak atau tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Karena itu, suatu putusan tidak seharusnya hanya dilihat dari amar putusan, tetapi juga sangat penting untuk memahami pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada prinsipnya memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan konstitusi terkait dengan permohonan tertentu.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan sendirinya merupakan dokumen yang memuat penjelasan dan penafsiran ketentuan dalam konstitusi. Di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan, khususnya dalam pengujian undang-undang, dengan sendirinya merubah suatu ketentuan norma hukum yang harus dilaksanakan oleh segenap organ negara dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa lalu masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga negara, hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini isu-isu konstitusi mulai merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja ahli hukum.
Mengingat UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya dapat dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.
Perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mendorong berkembangnya studi-studi teori Hukum Tata Negara. Beberapa teori yang saat ini mulai berkembang dan dibutuhkan misalnya adalah teori-teori norma hukum, teori-teori penafsiran, teori-teori kelembagaan negara, teori-teori demokrasi, teori-teori politik ekonomi, dan teori-teori hak asasi manusia.
Teori-teori norma hukum diperlukan misalnya untuk membedakan antara norma yang bersifat abstrak umum dengan norma yang bersifat konkret individual yang menentukan bagaimana mekanisme pengujiannya. Pembahasan teori-teori norma hukum juga diperlukan untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan sistem hukum nasional dapat dilakukan sesuai dengan kerangka konstitusional.
Teori-teori selanjutnya yang mulai mendapat perhatian dan tumbuh berkembang adalah teori penafsiran. Dalam hukum sesungguhnya penafsiran menempati kedudukan yang sentral karena aktivitas hukum “berkutat” dengan norma-norma dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan (imputation) ke dalam suatu peristiwa nyata. Penafsiran menjadi semakin penting pada saat suatu norma konstitusi harus dipahami untuk menentukan norma yang lain bertentangan atau tidak dengan norma yang pertama. Kedua norma tersebut harus benar-benar dipahami mulai dari latar belakang, maksud, hingga penafsiran ke depan pada saat akan dilaksanakan. Untuk itu saat ini telah banyak berkembang studi hukum dengan menggunakan alat bantu ilmu penafsiran bahasa (hermeunetik). Demikian pula teori-teori lain yang juga berkembang cukup pesat.

D. SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
Pembahasan tentang sejarah ketatanegaraan dapat di lakukan berdasarkan beberapa cara antara lain : berdasarkan periode berlakunya UUD (konstitusi), pergantian Orde, pergantian pemerintahan  dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini sejarah ketatanegaraan Indonesia berdasarkan pada periode berlakunya undang-undang yaitu : periode 1945 – 1949 (UUD1945), tahun 1949 – 1950 (KRIS), tahun 1950 – 1959 (UUDS), tahun 1959 – sekarang.

A.    SEJARAH KETATA NEGARAAN INDONESIA PERIODE 1945 – 1949.

1. Perancangan dan pengesahan UUD 1945.

Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu 18 agustus 1945 di tetapkanlah UUD Negara republic Indonesia, yang lebih di kenal dengan nama UUD 1945. Persiapan penyusunan UUD 1945 telah di lakukan sejak bulan mei 1945 dengan di bentuknya badan penyelidikan usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 april 1945.
Setelah badan ini di lantik oleh panglima tentara jepang (saiko sjikikan), kemudian pada tanggal 29 mei sampai 1 juli 1945 di adakan siding pertama untuk mendengarkan pandangan umum dari anggota. Pada siding pertama ini pokok pembicaraannya adalah tentang dasar Negara Indonesia.
Kemudian pada tanggal 31 mei 1945, melanjutkan pembicaraan tentang dasar Negara Indonesia,daerah Negara dan kebangsaan Indonesia. Pada hari terakhir tanggal 1 juni 1945 ir.soekarno berpidato mengenai dasar Indonesia merdeka yang terdiri dari :
1.      Kebangsaan Indonesia
2.      Internasionalisme atau peri kemanusiaan
3.      Mufakat atau demokrasi
4.      Kesejahtraan social
Pada akhir siding pertama bentuk panitia kecil yang beranggota 9 orang yaitu : Ir.soekarno, Drs.Muh.Hatta, Abikusnu tjokrosujoso abdulkaharmuzakir, H.A.Salin.Mr.Acahmad soebardjo, Wachid hasjin dan Muh.yamin untuk merumuskan pandangan umum dan pendapat para anggota. Panitia ini pada tanggal 22 juni 1945 berhasil merumuskan piagam Jakarta.
2. Sifat UUD 1945
Oleh pembentukan UUD 1945 di masukan untuk bersifat sementara. Hal tersebut dapat di lihat dari ketentuan pasal 3 ayat 2 aturan tambahan yang menyebutkan : “ dalam 6 bulan sesudah MPR di bentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD”. Demikian pula ketentuan dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa salah satu tugas MPR adalah menetapkan UUD.
3. kelembagaan Negara dan sistem pemerintahan
Bila dilihat ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, maka tampak bahwa yang memegang kekuasaan yang tertinggi dan sebagai pelaku kedaulatan rakyat adalah MPR (pasal 1ayat 2). Sebagaian kekuasaan itu oleh MPR disalurkan kepada lembaga-lembaga lain yang ada di bawahnya. Dengan demikian maka lembaga-lembaga lain seperti DPR, Presiden, BPK, DPA dan MA berada di bawah majelis (Untergeordnet).
Persetujuan Linggarjati
Ditandatangani 25 maret 1947, yang isinya antara lain :
1.      Belanda mengakui pemerintahan republic Indonesia berkuasa defacto atas jawa, Madura dan Sumatra
2.      Pemerintah akan bekerja sama untuk dala waktu singkat membentuk suatu Negara federasi yang berdaulat dan demokratis bernama “ Republik Indonesia serikat” RIS akan terdiri dari Negara republic : Indonesia (jawa, Madura dan Sumatra), Kalimantan dan Negara Indonesia timur.
3.      Republik Indonesia serikat akan bergabung dengan belanda dalam bentuk : UNI : dan sebagai kepala UNI adalah Ratu belanda.
4.      Pembentukan RIS dan UNI di usahakan terlaksana sebelum tanggal 1 januari 1949.
Persetujuan Renville
Isi dari persetujuan Renville antara lain :
1.      Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan diserahkan kepada republik Indonesia serikat, yang harus segera di bentuk.
2.      Sebelum RIS di bentuk, belanda dapat serahkan sebagin dari kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara.
3.      RIS sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat akan menjadi peserta yang sejajar dengan kerajaan belanda dalam UNI Nederland/Indonesia dengan ratu belanda sebagai kepala UNI.
4.      Republik Indonesia akan menjadi Negara bagian dari RIS.
Persetujuan inipun tidak dapat di laksanakan oleh belanda, dan pada tanggal 19 desember 1948 belanda melakukan “aksi militer II” dan berhasil menduduki ibu kota republik Indonesia Yokyakarta serta menahan Presiden soekarno dan wakil presiden Muh. Hatta serta beberap pejabat Negara lainnya.
Atas tindakan belanda menimbulkan reaksi divorum internasional, dan Karena itu dewan keamanan PBB pada tanggal 28 januari 1949
Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konfrensi Meja Bundar di adakan pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 Nopember 1949 di Den Haag, yang di ikuti oleh Belanda, Republik Indonesia BFO (Byeenkomst voor Vederal Overleg) yang di awasi oleh UNCI (United Nations Commisions for Indonesia). Delegasi RI dan BFO membentuk Panitia Perancang Konstitusi RIS yang bertugas untuk merancang naskah Konstitusi RIS.
  1. SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA PERIODE 1949 - 1950
Republik Indonesia serikat (RIS) berdiri tanggal 27 desember 1949, dan sesuai dengan perjanjian KMB maka Negara RI hanya merupakan bagian dari RIS , demikian pula UUD 1945 hanya berlaku untuk Negara bagian RI, dan wilayahnya sesuai dengan Pasal 2 KRIS adalah daerah yang disebut dalam Persetujuan Renville 17 Januari 1948.
Kekuasaan Negara RIS dilakuakan oleh pemerintah berasama-sama dengan DPR dan senat (Pasal 1 ayat 2 KRIS). Lembaga Perwakilan Rakyat menurut KRIS menganut sisitem bicameral yang terdiri dari Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Kekuasaan perundang-undangan federal menurut pasal 127 KRIS dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat.
Bentuk Negara federasi dan system parlementer yang di anut KRIS tidak sesuai dengan jiwa proklamasi maupun kehendak sebagian besar rakyat di beberapa daerah/Negara bagian, karena itu kemudian di adakan persetujuan antara pemerintah RI dengan RIS, untuk merubah bentuk Negara Federal menjadi bentuk Negara Kesatuan.

  1. SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA PERIODE 1950 – 1959
UU Federal No. 7 Tahun 1950 terdiri atas 2 pasal yaitu:
I.                   Berisi ketentuan perubahan KRIS menjadi UUDS dengan diikuti naskah UUDS selengkapnya.
II.                1. Tentang UUDS berlaki Tanggal 17 Agustus 1950
2. Aturan Peralihan; bahwa alat-alat perlengkapan Negara sebelum pengundangan undang-undang ini tetap berlaku.
UUDS sifatnya adalah sementara, hal ini dapat dilihat dari pasal 134 UUDS yang menentukan bahwa; konstituante bersama-sama pemerintahsecepatnya menetapkan UUD RI. Konstituante di beri tugas untuk menetapkan UUD yang tetap namun tidak mampu dicapai karena tidak pernah mencapai quorum, 2/3 dari jumlah anggota seperti yang ditentukan[9]. Dan akhirnya pada tanggal 5 juli 1959 presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya: Pembubaran Konstituante, UUD1945 berlaku kembali,dan pembentukan MPRS/DPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.
  1. SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA PERIODE 1959 – Sekarang
Periode berlakunya UUD 1945 pada masa ini akan dibagi menjadi tiga bagian yakni:
a. Masa antara 1959 - 1966
            dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka asas ketatanegaraan dan system pemerintahan mengalami perubahan, yaitu dari asas Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin. Inti dari Demokrasi Terpimpin adalah permusyawaratan tetapi suatu permusyarawatan yang “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” bukan oleh perdebatan dan penyiksaan yang di akhiri dengan pengadaan kekuatan dan peerhitungan suara pro kontra[10]. Dengan sistim presidensiil yang di anut oleh UUD 1945, maka presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintah) tertinggi (concentration of power and responsibility upon president), yang dalm pelaksanaan kekuasaan dibantu oleh wapres dan mentri-mentri (Pasal 4 dan 17 UUD 1945)


            Kemudian meletuslah TRI TURA akibat dari stabilitas politik dan keamanan yang tidak baik yang isinya:
  1. Pelaksanaan kembali secara murni dan konsekwen UUD 1945
  2. Pembubaran PKI
  3. Penurunan harga barang
b. Masa antara 1966 – 1999
            pada masa ini presiden soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 untuk menanggapi TRI TURA, yang memberi wewenang kepada Jendral Soeharto, Panglima Komando Staf Angkatan Darat untuk mengendalikan situasi. Yang mana dengan keluarnya Supersemar dan ketetapan lainnya mengangkat Jendral Soeharto sebagai pejabat presiden berdasarkan TAP MPRS No> XLIX/MPRS/1968[11].
            TAP MPRS No> XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR GR mengenai Sumber Tertib Hukum Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, yang terdiri dari:
  • UUD 1945
  • Ketetapan MPRS/MPR
  • UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
  • Peraturan Pemerintah
  • Keputusan Presiden dan,
  • Peraturan Pelaksana Lainnya Seperti:
    1. Peraturan Mentri
    2. Instruksi Mentri
    3. dan lain-lainnya
Dalam Perkembangan sejarah ketatanegaraan pada masa Soeharto berkuasa dikeluarkan pula keputusan DPR GR tanggal 16 Desember 1967 yang isinya:
  1. Adanya anggota MPR/DPR yang diangkat, disamping yang dipilih melalui pemilu
  2. Yang diangkat adalah perwakilan ABRI dan Non ABRI, untuk Non ABRI harus Non Massa
  3. Jumlah anggota yang di angkat untuk MPR adalah 1/2dari seluruh jumlah anggota[12].
Dikatakan pada pemerintahan Soeharto Asas Kedaulatan Rakyat sebagaimana di tentukan dalam UUD 1945 tidak pernah dilaksanakan, yang dilaksanakan adalah kedaulatan penguasa[13].
c. Masa 1988 – sekarang
            Pemerintahan Habibie disebut sebagai permerintahan Tradisional, yang menurut mulyoto Mulyosudarmo terdapat dua pemahaman tentang pemerintah transisi. Pertama, pemerintahan transisi digunakan untuk “merujuk pemerintahan sementara” yang masa jabatannya di batasi sampai terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilu. Kedua, pemerintahan transisi merupakan pemerintahan otoriter dan sentralistik menjadi pemerintahan yang desentralistik dan demokratis.
            Pemerintahan KH. Abdurachman Wahid tuntutan reformasi berjalan lambat dan gejolak disintegrasi bangsa berbagai daerah belum berhasil di atasi, terakhir adalah terjadinya skandal Bulloggate dan Bruneigate, yang berakibat pada tanggal 1 Februari Tahun 2001 DPR mengeluarkan memorandum I dan di ikuti Memorandum II pada tanggal 30 April 2001.
            Konflik antara Presiden dan DPR berlanjut, dan Presiden pada akhirnya mengeluarkan Maklumat yang berisi:
  1. Pembekuan MPR/DPR
  2. Mengembalikan kedaulatan rakyat dan melaksanakn pemilu dalam waktu satu tahun
  3. Membekukan Partai Golkar
P_emilu 2004 menunjukan terjadinya perubahan dominasi dan pemerataan kekuatan, misalnya PDIP dan Golkar hanya menguasai 20% dan 23% kursi. Hal tersebut di akibatkan karena:
  1. Pertambahan kursi di DPR, dari 500 pada pemilu Tahun 1999 menjadi 550 kursi tambahan di perebutkan
  2. Dikosongkannya kursi ABRI di DPR, hal ini berarti ada 38 kursi yang diperebutkan dalam pemilu 2004
  3. Merosotnya perolehan suara PDIP dalam pemilu 2004 dimana kehilangan44 kursi di DPR, hal ini berarti bahwa 132 kursi yang akan di prebutkan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. Kelima, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hal. 22
[2] Djokosoetono, Hukum Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).
[3] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 95
[4] Bandingkan dengan Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hal. 5.
[5] Moh. Mahfud MD., Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 155 – 157.
[6] UUD 1945 Terlalu Summier? Kepala Biro Pendidikan FH UI Sarankan Perubahan, Harian Merdeka, 18 Maret 1972, dalam Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah Oleh MPR, Revisi Cetakan Pertama, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2003), hal. 44-55.
[7] Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok Usulan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung.
[8] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.
[9] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; Op. Cit, hlm. 96
[10] Abdulah Zaini, Op.Cit,hlm.167
[11] Abdulah Zaini, Op.Cit,hlm. 183
[12] Bondan Gunawan S, 200, Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 33
[13] A. Ramlan  Surbakti, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia, Jakrta, hlm. 84